Munir Cahaya Yang Tak Pernah Padam (Tulisan Suciwati)

December 12, 2009 Comments off

Munir

Oleh : SUCIWATI, Isteri Alm. Munir.

BAGIAN PERTAMA

“Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut mungil itu tiba-tiba bersuara bak godam menghantam ulu hatiku. Gadis kecilku, Diva Suukyi, saat itu masih 2 tahun, menatap penuh harap. Menuntut penjelasan.

Suaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh, seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu. Terlalu dini, sayang. Belum saatnya kau mengetahui kekejian di balik meninggalnya ayahmu, suamiku, Munir. Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku. Tangan kecilnya melingkari tubuhku. ”Ibu jangan menangis…Jangan sedih,” kata-kata itu terus mengiang di telingaku.

Pada 7 September 2004, sejarah kelam itu tertoreh. Munir, suami dan ayah dua anakku –Alif Allende (10) dan Diva Suukyi (6)—meninggal. Siang itu, pukul 2.

Usman Hamid dari KontraS menelepon ke rumah. “Mbak Suci ada di mana?” Firasatku langsung berkata ada yang tidak beres. Pasti ada hal yang begitu besar terjadi sampai Usman begitu bingung. Jelas dia menelepon ke rumah, kok masih bertanya aku di mana.

Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?”

Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku, telah tiada. Kegelapan itu mencengkeram dan menghujamku dalam duka yang tak terperi.

Nyatakah ini? Air mata membanjir. Tubuhku limbung. Perlu beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan tenaga dan akal sehat. Aku harus segera mencari informasi tentang Munir. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada dia?

Begitu kesadaranku hadir, segera kutelepon berbagai lembaga seperti Imparsial dan kantor Garuda di Jakarta dan di Schipol (Belanda). Begitu pula teman-teman Munir di Belanda. Aku segera mencari kabar lebih lanjut dari kawan-kawan aktivis. Tak ada yang bisa memberikan keterangan memuaskan.

Orang-orang mulai berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa. Aku masih sibuk mencari informasi kesana-kemari. Sebagian diriku masih ngeyel, berharap berita itu bohong semata. Aku hanya akan percaya jika melihat langsung jenazah almarhum.

Pada tragedi ini, pihak Garuda amat tidak bertanggungjawab. Tiga kali aku menelepon kantor mereka di Jakarta, tapi tak satu pun keterangan didapat. Mereka bahkan bilang tidak tahu-menahu soal kabar kematian Munir. Sungguh menyakitkan, pihak maskapai penerbangan Garuda harusnya yang paling bertanggungjawab tidak sekali pun menghubungiku untuk memberi informasi. Padahal, Munir meninggal di pesawat Garuda 974.

Kantor Garuda di Schipol pun sama saja. Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang mengetahui kalau dia yang memberi kabar itu kepadaku. Ah, apa pula ini? Tuhan, beri aku kekuatan-Mu.

Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidak mengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong.

Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau boleh ambil nyawaku,hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

Rumah tiba-tiba dibanjiri manusia. Teman, kerabat, tetangga berdatangan. Bunga berjajar dari ujung jalan sampai ujung satunya. Alif bertanya, “Kenapa bunga itu tulisannya turut berduka cita untuk Abah?” Anakku, aku peluk dia, kukatakan bahwa Abah tidak akan pernah kembali lagi dari Belanda. Abah telah meninggal dan kita tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.

Alif menangis dan protes, “Bukannya Abah hanya sekolah? Bukannya Abah akan pulang Desember? Kenapa kita tidak akan ketemu lagi?” Amel, guru yang selama ini melakukan terapi untuk Alif yang cenderung hiperaktif, segera menggendong dan membawa Alif keluar. Maafkan, Nak. Aku tak berdaya bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaanmu. Aku tidak mampu.

Teman-teman dari berbagai lembaga juga datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, Infid, HRWG, dan banyak lagi yang tak mungkin aku mengingatnya satu persatu. Semua tumpah ruah.

Puluhan wartawan juga datang, tapi aku tak mau diwawancarai mereka. Biarlah kesedihan ini mutlak jadi milikku. Meskipun aku yakin bahwa keluarga korban yang selama ini didampingi almarhum pasti tidak kalah sedih. Sebagian mereka datang dan histeris menangisi kehilangan Munir.

PADA 8 September 2004, aku menjemput jenazah suamiku. Bersama Poengky dan Ucok dari Imparsial, Usman dari KontraS, dan Rasyid kakak Munir, aku berangkat ke Belanda. Ya Tuhan, beri aku kekuatan-Mu, begitu doaku sepanjang perjalanan.

Di ruang Mortuarium Schipol, jasad Munir terbujur kaku. Kami tiada tahan untuk tidak histeris. Usman melantunkan doa-doa yang membuat kami tenang kembali.

Sejenak aku ingin hanya berdua dengan suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan saat itu. Sedih, hampa, kosong.

Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia. Teringat saat-saat indah ketika kami bersama. Tiba-tiba ada rasa lain yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat terhomat disisi-Mu. Amien.

Suciwati

Di Batu, 12 September 2004, kota kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang. Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis, wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok hari, saat pemakaman Munir. Umik, ibu Munir, begitu sedih. Aku bahkan tak sanggup melihat kesedihan yang membayang di wajahnya.

Hari itu, masjid terbesar di Batu, tempat Munir disholati, tidak sanggup menampung semua yang hadir. Perlu antre bergantian untuk sholat jenazah. Kota Batu yang selama ini sepi mendadak dipadati manusia. Melimpahnya “tamu” Munir ini bagai suntikan semangat bagiku. Bahwa ternyata bukan aku dan keluarga saja yang merasakan kedukaan ini. Dukungan yang mereka berikan membuatku kuat.

Seperti menanam sesuatu maka kamu akan memanennya,itulah yang aku buktikan hari ini. Aku melihat yang dilakukan Munir selama ini membuktikan apa yang dia perbuat.

Munir selalu mencoba berjuang bagi tegaknya keadilan dan perdamaian. Dia berteriak lantang menyuarakan keadilan bagi korban, baik di Aceh,Papua,Ambon dan dimana saja. Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa memang harus dibayar mahal oleh nyawanya sendiri dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya ‘anak dan istrinya’.

TAK MUDAH bagiku mencerna kehilangan ini. Perlu proses untuk menerima, mengikhlaskan kepergian Munir, dan menerima bahwa ini adalah kehendakNya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka siapa pun dan dengan cara apa pun tidak akan mampu mengelak. Keyakinan bahwa hidup-mati manusia adalah kehendak-Nya itu membuat aku bangkit lagi.

Munir adalah manusia, sama sepertiku dan yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang atau besok, itu hanya persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara. Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap harus menghadapinya. Dan kehidupan tidak berhenti. Air mata kepedihan tidak akan pernah mengembalikannya.

Sepenggal doa Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, membuatku bertambah yakin bahwa aku harus bangkit:

“Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kebijaksanaan, Allh memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon kesejahteraan, Allah memberikan aku akal untuk berpikir. Ketika kumohon keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon bantuan, Allah memberiku kesempatan. Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tapi aku menerima segala yang kubutuhkan.”

Kucoba untuk merenung. Kuteguhkan hati bahwa ini bukan sekedar takdir, tapi ada misteri yang menyelubungi. Misteri yang harus diungkap. Aku harus berbuat sesuatu. Bersyukur, aku tidak sendirian dalam kedukaan ini. Banyak teman-teman yang peduli kepada kami sekeluarga.

  • BAGIAN KEDUA

  • DUA bulan kemudian, tepatnya 11 November 2004, Rachland dari Imparsial menghubungiku. Dia mengabarkan ada wartawan dari Belanda ingin mewawancarai. Dia juga bertanya, apakah aku sudah mengetahui hasil otopsi yang dilakukan pihak Belanda terhadap almarhum Munir. Hasil otopsi itu kabarnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.

    Aku berharap teman-teman memiliki jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun menelepon 108 –nomor informasi—untuk meminta nomer telepon kantor Departemen Luar Negeri.

    Teleponku ditanggapi seperti ping-pong. Dioper sana-sini. Sampai akhirnya aku berbicara via telepon dengan Pak Arizal. Dia menjelaskan bahwa semua dokumen otopsi telah diserahkan kepada Kepala Polri, dengan koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

    Entah, keberanian dari mana yang menyusup dalam diriku pada waktu itu. Aku tanpa ragu menghubungi dan berbicara dengan mereka, semua pejabat itu. Kebetulan, semua nomor telepon pejabat-pejabat penting itu terekam dalam telepon genggam suamiku.

    Kepada para petinggi itu, aku bertanya, “Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum tidak diberitahu tentang otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” Mereka tidak memberikan jawaban. Padahal, sebagai istri korban, aku memiliki hak yang tak bisa diabaikan begitu saja.

    Pukul 10.00 malam, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Pak Widodo AS meneleponku. Menurut dia, hasil otopsi telah diserahkan kepada Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Pak Suyitno Landung, Markas Besar Polri. Malam itu juga aku menelepon Kabareskrim. Aku meminta bertemu dengan dia esok paginya.

    Bersama Al Ar’af dari Imparsial,dan Usman Hamid dari KontraS, Binny Buchori dari Infid, Smita dari Cetro dan beberapa kawan, esok paginya tanggal 12 November 2004 aku mendatangi kantor Kabareskrim.

    Pagi itu aku menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir. Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian almarhum adalah lantaran racun arsenik. Racun itu ditemukan di lambung, urine, dan darahnya. Ternyata dia memang dibunuh…!

  • KELUAR dari Mabes Polri, kami sudah diserbu wartawan. Siaran pers pun digelar bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kantor KontraS.

    Isinya, mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi, menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga, dan membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan kalangan masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah. Desakan yang ditanggapi dengan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

    Tak lama pula kami membentuk KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Banyak organisasi dan individu yang punya komitmen akan pengungkapan kasus ini bergabung. Ini memang bukan hanya persoalan kematian seorang Munir. Lebih dari itu, ini persoalan kemanusiaan yang dihinakan dan kita tidak mau ada orang yang diperlakukan sama seperti dia hanya karena perbedaan pikiran.

    Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

    PADA 24 November 2004, Presiden Yudhoyono bertemu denganku. Teman-teman dari Kontras, Imparsial, Demos menemaniku bertemu Presiden. Satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen pol. Marsudi Hanafi.

    Tim ini, di luar dugaan, bekerja efektif menemukan kepingan-kepingan puzzle siapa dibalik pembunuhan Munir. Fakta-fakta temuan tim ini cukup mencengangkan. Fakta yang menunjukkan benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan kekuasaan serta kewenangan di Badan Intelejen Nasional (BIN). Sayangnya TPF tidak diperpanjang lagi setelah dua kali(6 bulan)masa kerjanya.

    Adalah Pollycarpus, pilot Garuda, benang merah yang mengurai jaring laba-laba kebekuan dan kerahasiaan yang melingkupi BIN. Polly, sebuah nama yang sangat melekat dibenakku. Sangat dalam maknanya dalam perjalanan menguak kebenaran siapa dibalik kematian Munir, suamiku.

    Dia adalah orang yang menelepon suamiku dua hari sebelum berangkat ke Belanda. Polly menanyakan jadwal keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan waktu itu aku yang menerima telepon itu. Jika tidak, barangkali aku tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah orang aneh dan sok akrab. “Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke Swiss,” begitu kata Munir

    Terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia adalah orang yang mempunyai hubungan dengan agen BIN seperti halnya Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, Deputi V BIN. Polly disebut sebagai agen non organik BIN yang langsung berada di bawah kendali Muchdi. Berkas dakwaan tersebut juga menyebut adanya pembunuhan berencana terhadap Munir.

    Tercatat pula dalam berkas dakwaan untuk Muchdi PR, keduanya –Polly dan Muchdi—berhubungan intensif melalui telepon. Paling tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan pembersihan jejak.

  • KAMI, aku dan teman-teman KASUM, juga melakukan investigasi. Kami berusaha memetakan jejak sang pilot. Melalui berbagai penelusuran, terungkap bahwa Pollycarpus memiliki hubungan dengan para pejabat BIN. Sosok satu ini diketahui berada di berbagai daerah titik panas seperti Papua, Timor Leste, dan Aceh. Sebuah fakta yang tidak biasa dalam dunia profesi pilot.

  • Polly sendiri, dalam persidangan, mengaku bahwa dia pernah tinggal cukup lama di Papua. Katanya, dia bertugas sebagai pilot misionaris sebelum bekerja di Garuda. Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, keberadaan Polly di Papua ternyata bersamaan dengan Muchdi PR yang waktu itu menjadi Komandan KODIM 1701 Jayapura pada tahun 1988-1993. Lalu, Muchdi menjadi Kasrem Biak 173/ 1993-1995. Melihat rekam jejak ini, patut diduga, pada periode itulah perkenalan pertama sang pilot dengan sang jenderal.

    Indra Setiawan, saat itu menjabat Direktur Utama Garuda, mengakui mengingat nama Pollycarpus karena khas dan unik. Pada 22 November 2004, ketika kami meminta keterangan kepada Indra,

    Aku: Apakah ada yang namanya Polly di Garuda?
    Indra (menjawab dengan cepat) : Oh ya. Ada. Namanya Pollycarpus.
    Aku : Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?
    Indra : Ya, soalnya namanya khas dan unik. Kalau namanya Slamet, saya pasti lupa.

    Belakangan, dalam persidangan, baik sebagai saksi atau pun ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada tahun 2007, terungkap bahwa Indra mengingat Polly karena alasan khusus. Alasan yang berkaitan dengan BIN. Polly merangkap pilot dan bagian pengamanan penerbangan (aviation security) atas permintaan BIN. Sebuah alasan yang masuk akal. Jika BIN yang meminta, kendati tidak benar secara prosedur, maka pihak Garuda tidak bisa menolak.

    BIN mengeluarkan permintaan tersebut dalam surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. Pada saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.

    Surat yang diteken As’ad patut diduga menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi , tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan Deputi IV Johannes Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat.

  •  

    Irjen YWS yang ditulis Suciwati dalam tulisannya sebagai orang yang patut dapat diduga ikut terlibat dalam rencana MEMBUNUH MunirIrjen YWS yang ditulis Suciwati dalam tulisannya sebagai orang yang patut dapat diduga ikut terlibat dalam rencana MEMBUNUH Munir

     

     

    BAGIAN KETIGA

     

    SERANGKAIAN persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan surat, bukan pembunuhan. Semua ini tentu merupakan pukulan sendiri buatku.

    Jantungku sakit sekali ketika aku mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.

    Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?

    Dua dari tiga hakim yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam menangani kasus ini yang menguntungkan Pollycarpus.

    Kesedihan sama sekali tidak membuatku surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.

    Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan pemidanaan Polly, ada mesin intelejen yang bekerja dengan jahat menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.

    Tragisnya, sampai hari ini proses meraih kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.

    Benar, ada perkembangan baru dengan ditangkapnya Muchdi Purwopranjono 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini diduga kuat berada di balik pembunuhan Cak Munir. Saat ini proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang berlangsung untuk membuktikan dugaan tersebut.

    Yah, aku berharap persidangan ini berlangsung adil. Kejahatan para pelaku pelanggar HAM selayaknya dibawa ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan berpihak kepadaku?

    Aku berharap masih ada jaksa dan hakim handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Tentu saja aku juga berharap pelaku sesungguhnya juga segera ditangkap, siapa pun dia.

    PERJALANAN meraih keadilan begitu berliku. Satu hal yang paling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat yang mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk terus berjuang.

    Tak jarang teror hadir. Ada ancaman datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan statusku sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh mereka. Syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia mendampingi dan menguatkanku.

    Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang baru. Berbagai kelompok masyarakat sipil pun terus mempertanyakan kasus Munir. Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain LSM, akademisi, petani, buruh, seniman,wartawan dan berbagai profesi lainnya.

    Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya, 68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Presiden Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus Munir.

    Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM (The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.

    Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir.

    Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga telah menyatakan keprihatinan akan kasus Munir di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa.

    Pada 26 Februari 2008, Deklarasi Parlemen Uni Eropa meminta pemerintah Indonesia serius dalam menuntaskan kasus Munir. Bahkan, 412 anggota parlemen yang menandatangani deklarasi ini meminta Uni Eropa memonitor kasus ini sampai tuntas.

    Mengalirnya dukungan tersebut mestinya membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat.

    Dukungan bagi pemerintah telah mengalir, secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu….

    Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden.

    Jadi, aku,rakyat Indonesia dan komunitas internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi.

    BAGIKU, Munir adalah cahaya yang tidak pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya. Munir beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang mencekam, menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.

    Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan menurutMu.

    Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.

    Bekasi, September 2008.

    (Tamat)

    LAMPIRAN (BERITA YANG DIMUAT DI WWW.KOMPAS.COM )

    http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/25/11182561/santet.jadi.alternatif.bunuh.munir

    SANTET JADI ALTERNATIF BUNUH MUNIR
    Kamis, 25 September 2008 | 11:18 WIB

    JAKARTA, KAMIS — Santet ternyata menjadi salah satu cara atau intrik yang akan digunakan untuk membunuh aktivis HAM Munir pada tahun 2004. Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan pembunuhan Munir dengan terdakwa Muchdi Pr di PN Jakarta Selatan, Kamis (25/9/2008), dari kesaksian aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Hendardi.

    Alternatif intrik ini merupakan petunjuk dari dokumen yang diperoleh Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sekitar tahun 2005. Menurut Hendardi, dokumen tersebut diterima Ketua TPF Marsudi Hanafi. Namun, mereka tidak mengetahui dari siapa dokumen tersebut berasal.

    Dokumen tersebut merupakan hasil tulisan seseorang atau sejumlah orang yang tidak diketahui mengenai skenario pembunuhan yang akan dipakai untuk membunuh Munir. Skenario tersebut memuat pengetahuan dan analisis orang-orang tersebut mengenai siapa yang terlibat, tempat dan waktu pertemuan, perencanaan cara dan intrik alternatif pembunuhan dilangsungkan.

    Di dalamnya juga memuat nama target lain selain Munir serta eksekutornya, tapi Hendardi mengaku lupa. “Tapi karena terakhir masa TPF tak kami jadikan data primer,” ujar Hendardi.

    Selain intrik pembunuhan dengan santet, intrik pembunuhan dengan racun juga tercantum di dalamnya. Bahkan dituliskan telah dicobakan kepada hewan hingga hewan itu mati.

    Categories: Uncategorized

    Cabinet 2009: State Intelligence, Sutanto

    December 12, 2009 Comments off

    Sutanto brings a good track record and political stature to his new task.

    Sutanto brings a good track record and political stature to his new task.

    October 26th, 2009

    (KATAKAMI / THE JAKARTA GLOBE) Sutanto, a calm and collected loyalist to President Susilo Bambang Yudhoyono, has never been shy about confronting challenges throughout his illustrious police career, which peaked when he was made the nation’s police chief from 2005 until last year.

    He now faces the biggest challenge of his life — heading the State Intelligence Agency (BIN), an institution dominated by agents from the once omnipotent Armed Forces, which still considers the National Police force as its “little brother.”

    While it doesn’t help that he is the first policeman to fill a post usually filled by retired Army generals, Sutanto’s persistence in chasing leads linking BIN officers to the 2004 murder of human rights activist Munir Thalib clearly would not have won him any popularity contests among the spies.

    Muchdi Purwopranjono, a former BIN deputy chief and Army Special Forces (Kopassus) general, went to court to answer allegations that he masterminded the arsenic poisoning of Munir on a Sept. 7, 2004, Garuda Indonesia flight to Amsterdam.

    Judges acquitted Muchdi, but it was the first time that a high-level BIN official had found himself in court. The prosecution alleged that Muchdi had Munir murdered as an act of revenge after he was dismissed from the Special Forces because of the rights activist’s persistent criticism of the alleged kidnapping of activists by Kopassus in the 1998 movement against President Suharto.

    “There is hope” that Sutanto’s arrival at BIN may even lead to the reopening of a case that has put BIN under fire, said Choirul Anam, from the Committee of Action and Solidarity for Munir, a group pushing for complete transparency in the Munir murder investigation.

    Though Sutanto may have to work hard to win support within BIN, he does bring with him a good track record and political stature, making him a formidable choice for the agency tasked with giving the president the right intelligence on terrorism and other security-related issues.

    He definitely has the ear of the president. He has been a close friend to Yudhoyono since their academy days. Sutanto and Yudhoyono both graduated from the military academy in 1973, with the former topping the police academy while the president won the highest honors at the Army academy.

    Sutanto was an aide to President Suharto in 1998 and witnessed the downfall of the strongman from close quarters. Sutanto knows the security scene in Jakarta because he was the capital’s deputy police chief until 2000.

    Subsequently, he led the provincial police forces in East Java and North Sumatra. As the North Sumatra Police chief, he confronted the gambling barons and drug mafia who infested the province and led a crackdown on the underworld in Medan, the country’s third largest city and a hotbed of vice. In 2005, he led the National Narcotics Agency and continued his crusade against drug dealers.

    It came as little surprise to observers when Yudhoyono tapped Sutanto to serve as National Police chief in July 2005. He did not disappoint. In late 2005, his men shot and killed Malaysian-born terrorist mastermind and bomb-maker Azahari Husin, who had played a major role in a string of deadly bombings in the country by the Jemaah Islamiyah militant network.

    Nor did Sutanto discriminate. He let antigraft officers arrest his top detective, Suyitno Landung, when it was evident that the officer behind successful anti-terror operations took bribes from a defendant in one of the biggest corruption scandals to hit the nation. Landung became the highest-ranking officer ever investigated by the National Police.

    Sutanto’s retirement in 2008 was short-lived. Yudhoyono asked him to root out corruption at state oil company Pertamina, appointing him as a commissioner with one of the richest but most poorly managed of Indonesia’s state enterprises.

    His role in the shake-up at Pertamina, which also included the rise of young professionals to the helm of the company, added versatility to his resume and proved he was up to challenges outside the police force.

    Yudhoyono’s decision to end the run of Army generals leading the nation’s top intelligence agency and appoint Sutanto has been controversial. Time will tell whether it is a master stroke or a major blunder.

    Categories: Uncategorized

    Selamat Bertugas Sutanto Kepala BIN Baru, Pancen Oye !

    December 11, 2009 Comments off
    https://i0.wp.com/fotografi.isi.ac.id/images/news/sutanto.jpg
    Jakarta (20/10/2009) Utak-atik prediksi penghuni-penghuni baru kabinet SBY – Boediono untuk periode 2009-2014 memang ibarat tebak-tebak buah manggis. Siapa ya yang akan jadi Menteri ini ? 
    Siapa ya yang akan jadi Menteri itu ? Lho kok si ini yang jadi Menteri ini ?  Lho kok si itu yang jadi Menteri itu ? 
    Orang berkomentar, tentu sah- sah saja. Namanya juga negara demokrasi. Tetapi yang harus disadari disini adalah HAK PREROGATIF yang dimiliki oleh seorang Kepala Negara.
    https://i0.wp.com/pemilu.inilah.com/data/berita/foto/42741.jpg
    SBY berhak menentukan siapapun yang dianggap kapabel dan sangat cakap untuk menjadi pembantunya dalam menjalankan amanah berkuasa selama 5 tahun ke depan.
    Salah satu posisi kunci yang paling penting dalam kabinet SBY adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
    Rumors yang beredar sangat banyak. Diantaranya, Sjamsir Siregar tetap akan dipertahankan. Tapi belakangan, nama Jenderal (Purn) Sutanto – mantan Kapolri – yang diprediksi akan menggantikan posisi Sjamsir Siregar.
    Debat kusir seputar layak atau tidak layaknya Jenderal Sutanto menjadi Kepala BIN terus dipergunjingkan.
    Salah satunya adalah Sutanto bukan militer dan dianggal tidak memiliki latar belakang kedinasan di bidang intelijen.
    Mari kita bahas soal debat kusir soal ada atau tidak adanya keahlian khusus Jenderal Sutanto di bidang intelijen. Sutanto – yang termasuk salah satu anggota dari AKBP alias Angkatan Bapak Presiden (SBY) yaitu Angkatan 1973 ini – memiliki rekam jejak yang sangat lengkap.
    Sutanto pernah menjadi Ajudan (ADC) Presiden Soeharto.
    Untuk menjadi Ajudan Presiden, dari Tri Matra TNI yaitu TNI AD, TNI AL dan TNI AU, termasuk juga POLRI, semua kandidat Ajudan Presiden harus melalui seleksi yang sangat ketat.
    Tidak mudah untuk bisa menjadi Ajudan Presiden. Sebab kandidat calon Ajudan Presiden dari kalangan POLRI misalnya, ia harus menjalani serangkaian tes yang sangat panjang, sangat teliti dan berliku dari kalangan intern POLRI serta Sekretaris Militer Presiden.
    http://redaksikatakami.files.wordpress.com/2009/03/1-sssutanto1.jpg
    Selanjutnya secara berturut-turut, Sutanto menjadi Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Sumatera Utara dan Kapolda Jawa Timur.
    Lepas dari jabatan Kapolda Jawa Timur, Sutanto menjadi Kepala Lembaga Pendidikan (Diklat) Polri dan sebelum akhirnya menjabat sebagai KAPOLRI selama 38 bulan (3 Tahun 2 Bulan), Sutanto juga sempat menjadi Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Narkotika Nasional.
    Dengan rekam jejak yang selengkap dan sesempurna ini, siapa yang masih berani mengatakan bahwa Sutanto tidak memiliki latar belakang intelijen ?
    Ketika ia menjadi Wakapolda atau Kapolda, maka di setiap jajaran Polda yang dipimpin itu Sutanto membawahi atau memiliki bawahan yang menangani Intelijen yaitu Direktur Intel (Dir Intel).
    Pada posisi ia menjadi Kapolda, Sutanto tentu mendapatkan masukan dan laporan, dan akhirnya memberikan arahan atau perintah di bidang intelijen, kepada semua pejabat di bidang intelijen yang bernaung di bawah Polda yaitu Direktur Intelijen Polda, Kepala Bagian Intelijen Polisi Wilayah (Polwil) dan Kepala Bagian Intelijen Polres dan Kepala Unit Intelijen Polsek.
    Dan saat menjadi Kapolri, Sutanto memiliki bawahan di bidang intelijen yaitu Kepala Bagian Intelijen & Keamanan (Kabaintelkam) yang merangkum semua laporan intelijen seluruh Polda se-Indonesia.
    Sebagai instansi yang bertugas untuk menjaga KAMTIBMAS (Keamanan & Ketertiban Masyarakat), POLRI harus sangat kuat di bidang INTELIJEN.
    Selain mengandalkan perangkat intelijennya sendiri, POLRI harus berkoordinasi dengan instansi lain atau antar lintas Departemen.
    Singkat kata, tidak perlu diragukan lagi kemampuan INTELIJEN dari seorang Sutanto.
    https://i0.wp.com/3.bp.blogspot.com/_qkjNMYedSxE/SA2eThKdoSI/AAAAAAAADjk/Sy4UUaQ6ZTs/s200/sby%2Bn%2Bkapolri%2B4.jpg
    SBY sangat tepat menempatkan figur Sutanto dalam Dinas Intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN).
    Kalau misalnya ada yang mengatakan, lho jabatan Kepala BIN itu kan job militer. Kenapa diberikan kepada polisi ?
    Tidak ada peraturan atau UU resmi yang mewajibkan posisi Kepala Badan Intelijen Negara harus diisi dengan figur militer.
    Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan dan kecakapan Letjen (Purn) Sjamsir Siregar dalam memimpin BIN, Indonesia harus mengakui secara lapang dada bahwa nyaris tidak ada samasekali PRESTASI KERJA dari BIN selama ini.
    Deteksi dini dan cegah dini di bidang intelijen selama dipimpin Sjamsir Siregar sangat lemah.
    Dan ketika terjadi sesuatu yang mengguncang stabilitas nasional, maka POLRI ibarat menjadi MOBIL PEMADAM KEBAKARAN.
    Crot. Crot. Crot.
    Sang mobil pemadam kebakaran itu harus sangat cepat dan tepat memadamkan api gangguan di semua wilayah.
    http://kabarnet.files.wordpress.com/2009/09/panglima2.jpg
    Salah satu contoh saja, saat Presiden SBY berkunjung ke Ambon Mei 2007. Persis disaat SBY berpidato – di tengah hujan deras – sekelompok penari lokal membentangkan bendera RMS.
    Ketika itu, intelijen dituding tidak mau mendeteksi penyusupan dari kelompok “penari Cakalele”.
    Sumber KATAKAMI di lingkungan TNI menginformasikan ketika itu, bahwa sepulang dari Ambon Presiden SBY memarahi 2 kawan terdekatnya yang kebetulan menjadi Panglima TNI dan Kapolri yaitu Marsekal Djoko Suyanto dan Jenderal Sutanto. Kedua perwira tinggi ini TERPAKSA menjadi tempat pelampaisan kemarahan SBY. 
    Mungkin karena keduanya adalah sesama AKBP (Angkatan Bapak Presiden), maka SBY menjadi “luwes dan leluasa”sekali ngomel-ngomel panjang lebar tidak karuan karena insiden tarian Cakalele.
    Kejadian “Penari Cakalele” itu, sempat membuat hubungan BIN dengan TNI – POLRI menjadi runcing.
    BIN tidak mau disalahkan !
    SBY tidak mau ambil pusing sehingga yang sangat keras ia marahi adalah Panglima TNI dan Kapolri.
    Padahal, banyak pihak yang mengatakan bahwa insiden itu terjadi karena kelemahan I N T E L I J E N !
    http://curahbebas.files.wordpress.com/2008/11/hambali.jpg

    Ode Untuk Presiden Obama Yang Menghapuskan Motto Kalimat PERANG MELAWAN TEROR

    Contoh berikutnya adalah saat Thailand menangkap gembong teroris HAMBALI bulan Agustus 2003.
    Aparat keamanan Thailand justru menyerahkannya kepada PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT dan akhirnya Hambali dipenjarakan di Guantanamo – yang notabene berada di bawah otoritas DINAS INTELIJEN AMERIKA SERIKAT atau CIA –.
    Apakah mungkin, Dinas Intelijen Indonesia tidak memiliki samasekali akses dan kerjasana yang baik dengan sesama Dinas Intelijen di kalangan negara-negara anggota ASEAN ?
    Mengapa bisa, aparat keamanan Thailand menyerahkan gembong teroris yang paling di cari di Indonesia dan kebetulan gembong teroris itu berkewarge-negaraan Indonesia, justru diserahkan kepada PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT !
    Yang lebih tragis lagi, setelah gagal mengetahui dan mencegah penyerahkan Hambali kepada AS tadi, ternyata BIN juga gagal mendeteksi aksi peledakan bom di Hotel JW Marriot tahun 2003.
    Jarak antara penyerahan Hambali tadi dan peledakan bom di Hotel JW Marriot hanya terpaut beberapa hari saja.
    Dimana KEMAMPUAN INTELIJEN dari Badan Intelijen Negara ?
    Kalau memang Kepala BIN yang berlatar-belakang militer jauh lebih hebat dari figur kalangan sipil yaitu POLRI, mana bukti kehebatan itu ?
    Tidak ada !
    https://i0.wp.com/media.vivanews.com/thumbs/62839_istri_mendiang_munir_suciwati_thumb_300_225.jpg
    Kita bergeser ke peristiwa pembunuhan MUNIR !
    Munir mati diracun tanggal 7 September 2004. Dan dua hari kemudian yaitu tanggal 9 September 2004, terjadi peledakan bom di depan Kedubes Australia Jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan.
    Sudah jadi rahasia umum bahwa PATUT DAPAT DIDUGA pembunuh Munir adalah kalangan pejabat dari BADAN INTELIJEN NEGARA.
    Seluruh dunia tahu bahwa ada aktivis HAM Indonesia mati karena diracun dalam penerbangannya ke Belanda.
    Sadis sekali !
    Sekarang, kalau ada yang bertanya jika PATUT DAPAT DIDUGA pembunuh Munir adalah pejabat-pejabat BIN, mengapa “mengamankan” seorang aktivis HAM harus dengan cara menghilangkan nyawanya ?
    Lalu ketika nyawa seorang MUNIR sudah dibasmi, mengapa tidak ada satupun yang mau bertanggung-jawab ?
    Inilah lelucon yang paling tidak lucu di INDONESIA yaitu ada aktivis HAM mati dibunuh, tanpa diketahui SIAPA PEMBUNUHNYA.
    Munir bukan mati karena serangan jantung atau karena sakit stroke !
    Hei, Munir itu mati DIBUNUH !
    Siapa pembunuhnya ?
    Sekarang kembali ke masalah rencana penugasan Jenderal Sutanto sebagai Kepala Dinas Intelijen INDONESIA, itu adalah keputusan yang paling baik dan pantas diacungi jempol untuk SBY.
    https://i0.wp.com/www.inilah.com/data/berita/foto/47697.jpg
    Keputusan SBY memilih dan menempatkan Sutanto sebagai Kepala BIN adalah keputusan yang PANCEN OYE alias tepat sekali.
    Sutanto memiliki tugas berat menjadi Kepala BIN yang baru.
    Ia harus bergerak dengan lincah membenahi dan menata struktur organisasi BIN yang sampai saat ini masih diisi oleh jajaran eselon I warisan Kepala BIN Hendropriyono.
    Hebat betul, pejabat-pejabat eselon 1 yang bercokol begitu lama di Dinas Intelijen INDONESIA.
    Jenderal Sutanto harus membersihkan dan merapikan semua struktur organisasi BIN dari orang-orang lama dan menggantinya dengan pejabat-pejabat baru yang lebih “pancen oye”.
    BIN harus siap menerima pimpinan baru yang tingkat kemampuannya selama ini dalam memiliki POLRI – sudah sangat teruji dan terpuji –.
    BIN harus bisa bekerjasama dan loyal kepada pimpinan baru yang mumpuni seperti Sutanto.
    Semoga BIN bisa menjadi lebih membumi dan taat hukum. 
    http://klikkatakami.files.wordpress.com/2009/03/111-sutantooo6.gif
    Untuk itulah, rakyat Indonesia – terutama PERS dan kalangan aktivis – sungguh berharap banyak dari Sutanto.
    Siap Jenderal, selama 5 tahun ke depan, jangan pernah ada lagi penghilangan nyawa manusia secara paksa oleh Dinas Intelijen
    Siap Jenderal, selama 5 tahun ke depan, jangan pernah ada lagi gerakan-gerakan intelijen yang berbau politis di kalangan lawan politik pemerintah.
    Siap Jenderal, selama 5 tahun ke depan, jangan pernah ada lagi teror dan tekanan kepada PERS dari Dinas Intelijen.
    Dan penempatan Jenderal Sutanto sebagai Kepala BIN, semoga bukan untuk mengamankan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO jika ingin melanjutkan lagi REZIM kekuasaannya selama 5 tahun berikutnya dari periode yang sekarang yaitu periode 2014-2019.
    Sutanto harus menjaga NETRALITAS BIN. 
    BIN jangan jadi instrumen SBY untuk memukul lawan-lawan politik atau menekan PERS bahkan pihak manapun yang oleh SBY dianggap tidak “pancen oye”.
    Selamat bertugas, Jenderal Sutanto ! 
    Anda sangat tepat memimpin BIN untuk periode tugas 5 tahun depan. 
    (MS)
    Categories: Uncategorized

    Photo : Smart Intelligent

    December 10, 2009 Comments off

    Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Sutanto menjelaskan program BIN kepada wartawan usai rapat tertutup dengan Komisi I, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (16/11). Selain membahas kasus pimpinan KPK, dalam program BIN ke depan lebih menekankan pada `smart intelligent`, bukan `combat intelligent`.  (*Yudhi Mahatma/ant/ben)

    Categories: Uncategorized

    Photostream : General Sutanto, Indonesia Intelligence Chief

    December 10, 2009 Comments off
    Categories: Uncategorized